Saat kita berkunjung, tentunya kita berharap adanya perasaan sukacita yang timbul dari pertemuan tersebut. Namun bagaimana kalau yang terjadi malah rasa tidak nyaman setelah pertemuan tersebut? Dalam situasi ini, kita mungkin menyalahkan orang lain. Orangnya nggak asyik diajak ngobrol. Atau kita nilai, perkataannya membuat kita tersinggung. Pokoknya orang itu yang salah dan bukan kita. Tapi benarkah demikian? Jangan-jangan yang terjadi malah kebalikannya. Daripada mencari siapa yang salah atau benar, baiklah kita belajar dari perkataan Paulus. Ketika ia ingin mengunjungi jemaat di Roma, ia memulainya dengan sukacita. Artinya, Paulus tidak mau datang dengan perasaan terpaksa. Ketika ia berniat mengunjungi ke Roma, ia meyakini bahwa itu adalah bagian dari kehendak Allah. Sebab itu kalau kita merasa ada dorongan untuk mengunjungi orang lain, maka lakukanlah itu dengan hati yang penuh sukacita. Ketika kita datang dengan hati yang penuh sukacita, maka ada kesegaran dalam pertemuan itu.

Melalui proses perjumpaan dengan orang lain, kita belajar menempatkan diri dengan baik sekaligus belajar mencari hal-hal baik di dalamnya. Hari ini jika kita memiliki kegiatan di luar rumah, maka proses perjumpaan pasti akan terjadi. Jadikan proses perjumpaan itu sebagai bagian berkat atas hidup kita. Dengan demikian kita takkan merasa terbeban karenanya. Lalu bagaimana kalau di tengah pertemuan itu, ada hal yang tidak menyenangkan terjadi sehingga kita merasa tidak nyaman? Tetaplah bersukacita. Bukankah itu yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan? Walau hati jengkel, tapi serahkan semua pada Allah dalam ketulusan. Maka kesegaran dalam berkat Kristus akan hadir membuat hati kita merasa adem dan tidak terjebak dalam emosi yang berkepanjangan.