MINGGU XXIII SESUDAH PENTAKOSTA
Selasa, 10 November 2020
Renungan Pagi
KJ. 424 : 1, 3 – Berdoa
KUDUS SEBAGAI KETELADANAN HIDUP
Imamat 21 : 1 – 15
“…janganlah mereka melanggar kekudusan nama Allahnya,…” (ay. 6)
Tradisi keimaman dalam Yudaisme dipenuhi berbagai peraturan yang sangat ketat. Ketatnya peraturan imam ini disebabkan antara lain oleh siapa yang menjadi pusat peribadahan Israel, yaitu Allah. Dalam iman Israel, Allah adalah Mahakudus, yang berbeda dengan ciptaan yang tidak kudus bahkan najis. Kemahakudusan Allah mempunyai dua sisi, yaitu yang menakjubkan dan yang menghanguskan. Menakjubkan karena menghadirkan keheranan dan ketundukan dalam sikap percaya. Sebaliknya, menghanguskan karena hampir tak terhampiri oleh manusia sebagai ciptaan yang cenderung cemar dan najis.
Â
Salah satu peraturan kekudusan bagi imam adalah terkait dengan keluarga yang akan dibentuk oleh para imam. Selain melayani Allah yang Mahakudus, maka para imam harus mempunyai keluarga yang dapat dijadikan teladan bagi umat, mulai sejak mereka memilih pasangan, hingga menjalani hidup bersama pasangan. Mengapa demikian? Tujuannya, agar para imam dan keluarganya tidak menjadi batu sandungan bagi umat yang dilayaninya. Sebaliknya menjadi berkat karena hidupnya dijalankan secara kudus dan tidak cemar.
Â
Kekudusan sejatinya adalah tugas yang penuh perjuangan. Sebagaimana dulu Martin Luther, ketika mengatakan jemaat adalah communio sanctorum, maka mereka adalah orang-orang kudus dan orang percaya, yang diatur hidupnya oleh Roh Kudus, serta hidup meneladankan kebajikan kepada sesama. Tujuannya bukan untuk kemuliaan diri, tetapi demi kemuliaan Allah. Yang memanggil umat kepada kekudusan adalah Allah. Karena itu hidup dalam kekudusan adalah ungkapan syukur dalam laku hidup yang baik.
KJ. 424 : 4
Doa : (Ya Roh Kudus, mohon mampukan keluarga kami untuk hidup kudus dan menjadi teladan)Â
MINGGU XXIII SESUDAH PENTAKOSTA
Selasa, 10 November 2020
Renungan Malam
KJ. 367 : 1, 2 – Berdoa
SEMUA ADALAH UMAT ALLAH
Imamat 21 : 16 – 24
“…Akulah TUHAN, yang menguduskan mereka” (ay. 23c)
Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal turut memengaruhi perkembangan ilmu tafsir atas teks-teks suci keagamaan, termasuk dalam Alkitab Kristen. Penerimaan pada keberadaan manusia sejak lahir, yang diyakini sebagai sesuatu yang given (anugerah), tidak boleh dikurangi oleh siapapun. Sebab dalam tata penciptaan Tuhan, semuanya adalah baik adanya. Tradisi Kristen juga mencatat, bahwa keadaan fisik seseorang apa pun itu, tidak mengurangi kasih Tuhan bagi orang tersebut. la juga termasuk ke dalam umat Tuhan yang diberi janji keselamatan dan hidup kekal.
Â
Salah satu peraturan tentang imam yang sangat ketat adalah terkait dengan “kekurangan” anggota tubuh. Setelah Harun dinyatakan sebagai imam, maka status keimamannya itu tidak hanya mengikat dirinya, melainkan juga keturunannya. Maksudnya, agar mereka mempersembahkan seluruh hati, jiwa dan tubuh bagi kemuliaan Allah. Sekalipun perihal “kecacatan” menghalangi seseorang datang mendekat untuk memberikan persembahan kepada Allah (baca ay. 17, 21 : “janganlah datang mendekat untuk mempersembahkan…“), terasa kontroversial, namun penegasan Yang Ilahi “Akulah TUHAN, yang menguduskan mereka” seolah menjadi jawaban. Jika TUHAN yang Mahakudus menghendakinya, maka la pun dapat menguduskan dan melayakkan mereka semua, yang dari sudut peraturan imam tidak layak untuk menjadi umat-Nya. Mereka pun dapat mempersembahkan korban yang memuliakan Tuhan.
Â
Kekudusan Allah bersifat merangkul dan menyembuhkan. Siapapun, termasuk para penyandang disabilitas, tidak ada yang ditolak menjadi umat Tuhan, karena semua orang diciptakan unik dan khas, serta layak datang mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan.
KJ. 367 : 3, 4
Doa : (Tolong kami Tuhan untuk menerima orang lain sebagai sesama umat-Mu)
